Laman

Minggu, 18 Mei 2014

Mekanisme Ketahanan Terinduksi

KETAHANAN TERINDUKSI
SYTEMIC ACQUIRED RESISTANCE (SAR) DAN INDUCED SYSTEMIC RESISTANCE (ISR)

Oleh :
Yulia Rahmawati, Utik Windari, Rachmad Saputra

Pasca Sarjana Fitopatologi
Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada


Tanaman akan mempertahankan diri terhadap serangan patogen. Pertahanan tanaman dapat dilakukan secara fisik dan kimia. Ketahanan tanaman terinduksi adalah fenomena dimana terjadi peningkatan ketahanan tanaman terhadap infeksi oleh patogen setelah terjadi rangsangan. Ketahanan ini merupakan perlindungan tanaman bukan untuk mengeliminasi patogen tetapi lebih pada aktivitas dari mekanisme pertahanan tanaman. Ketahanan terinduksi dikategorikan sebagai perlindungan secara biologi pada tanaman dimana tanaman adalah target metode ini bukan patogennya. Induksi resistensi atau imunisasi atau resistensi buatan adalah suatu proses stimulasi resistensi tanaman inang tanpa introduksi gen-gen baru. Induksi resistensi menyebabkan kondisi fisiologis yang mengatur sistem ketahanan menjadi aktif dan atau menstimulasi mekanisme resistensi alami yang dimiliki oleh inang.
 Ada dua bentuk ketahanan terinduksi yang umum yaitu Sytemic Acquired Resistance (SAR) dan Induced Systemic Resistance (ISR). Ketahanan tanaman terinduksi dapat dipicu dengan penambahan bahan-bahan kimia tertentu, mikroorganisme non patogen, patogen avirulen, ras patogen inkompatibel, dan patogen virulen yang infeksinya gagal karena kondisi lingkungan tidak mendukung. Ketahanan tanaman terinduksi karena penambahan senyawa kimia atau menginokulasikan patogen nekrotik sering diistilahkan dengan induksi SAR. Induksi SAR dicirikan dengan terbentuknya akumulasi asam salisilat (salicylic acid, SA) dan protein PR (patogenesis-related proteins, PR). Sedangkan ketahanan terinduksi karena agen biotik non-patogenik sering dikenal dengan ISR, seperti oleh rizobakteria.

a.    Sytemic Acquired Resistance (SAR)
Pada umumnya, ketahanan terimbas adalah ketahanan sistemik. Hal ini terjadi karena daya pertahanan ditingkatkan tidak hanya pada bagian tanaman yang terinfeksi, tetapi juga pada jaringan terpisah tempat yang tidak terinfeksi. Oleh karena bersifat sistemik, ketahanan terimbas umumnya dirujuk sebagai SAR (Systemic Acquired Resistence). Akan tetapi, ketahanan terimbas tidak selalu ditampakkan secara sistemik, dapat juga ditampakkan secara setempat (Locally Acquired Systemic = LAR), meskipun keaktifannya sama terhadap beragam tipe patogen tanaman.
Beberapa ciri SAR antara lain, SAR diperoleh setelah inokulasi dengan necrotizing patogen, HR, atau aplikasi dari beberapa bahan kimia (SA analog atau agonis). Untuk menghadapi serangan pathogen, membutuhkan asam salisilat sebagai molekul sinyal pada tanaman dan disertai dengan induksi pathogenesis related protein 
Ketahanan perolehan sistemik (SAR) mengacu pada jalur signal transduksi yang diaktivasi oleh pembentukan lesio nekrotik lokal, juga sebagai hipersensitivitas reaksi (HR) dalam reaksi inkompatibel atau sebagai gejala penyakit dalam reaksi kompatibel. Systemic Acquired Resistance (SAR) dalam pertahanan tanaman terletak pada sistem interaksi elisitor dan regulasi yang terjadi pada tanaman model Arabidopsis thaliana. SAR tergantung pada tanaman dan elisitor patogen, ketahanan akan muncul pada periode tertentu dengan mengkorespondensikan waktu yang dibutuhkan untuk akumulasi PR-protein (dan transkripsi) dan produksi asam salisilat pada tanaman inang. SAR membutuhkan akumulasi asam salisilat atau PR-protein dalam sistem regulasi.
Terdapat sedikitnya dua komponen utama yang berperan dalam mekanisme SAR, yaitu gen penanda molekuler SAR dan salicylic acid. Telah diketahui bahwa penanda tersebut kemudian disebut sebagai gen SAR. Hasil analisa terhadap protein yang kemudian disebut sebagai protein SAR diklasifikasikan sebagai PR protein Gen yang mengekpresikan SAR dihubungkan secara kolektif dengan gen SAR dan termasuk beta 1,3 glukanase, PR-1 protein, kitinase dan osmotin-like protein.
SAR juga dikarekterisasi oleh hubungan akumulasi kordinasi mRNA yang mengkode satu set gen SAR. Ekpresi dari gen ini terdiri dari 14 family gen yang berhubungan dengan banyak gen yang mengkode PR protein yang juga termasuk kriteria yang dapat dihubungkan SAR dengan berbagai respon ketahanan.
Keberadaan peningkatan salicylic acid yang berhasil dideteksi pada bagian daun sistemik dan floem tanaman menunjukan bahwa komponen kimia tersebut berperan sebagai system signal SAR. Salicylic acid adalah komponen yang dibutuhkan dalam jalur signal transduksi untuk induksi SAR, suatu bentuk peningkatan ketahanan tanaman melawan patogen berspektrum luas. Penggerak untuk sintesis SA dan induksi SAR adalah pengenalan dari invasi mikroorganisme oleh gen penghasil resistensi. Seringkali pengenalan ini disertai oleh respon hipersensitif, suatu bentuk kematian sel inang secara cepat pada bagian sekitar titik masuk patogen.

b.   Induced Systemic Resistance (ISR)
Ketahanan sistemik terinduksi (ISR) pada dasarnya memiliki kesamaan dengan SAR. Mekanisme ini terjadi sebagai akibat adanya infeksi oleh patogen sehingga tanaman memberikan respon berupa reaksi-reaksi pertahanan seperti HR yang menyebabkan terjadinya lesio nekrotik pada daerah terserang. Beberapa peneliti telah melaporkan beberapa faktor yang dapat menicu ISR seperti senyawa kimia (siderofor, antibiotik dan ion Fe) yang dihasilkan rizobakteria dan komponen sel bakteri (dinding sel mikroba, flagella, filli, membran lipopolisakarida (LPS)) dapat sebagai elicitor dalam menginduksi ketahanan secara sistemik.
Mekanisme ISR terjadi sebagai akibat perubahan fisiologi tanaman yang kemudian menstimulasi terbentuknya senyawa kimia yang berguna dalam pertahanan terhadap seranagan patogen. Perubahan fisiologi tersebut dapat berupa modifikasi struktural dinding sel atau perubahan reaksi biokimia pada tanaman inang. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan adanya induksi ketahanan sisteik oleh bakteri yaitu: 1) Adanya sumbangan lipopolisakarida (LPS) oleh bakteri; Komponen sel, seperti membran lipopoliskarida (LPS) dan flagella dapat mengaktifkan respon ketahanan tanaman. Selubung sel dari sebahagian besar bakteri gram negatif mempunyai membran luar yang mempakan suatu struktur komplek yang terdiri dari phosfolipid, lipopolysaccharida dan beberapa macam protein. Komponen-komponen yang terdapat pada permukaan sel bakteri berperan dalam interaksi antara inang dan mikroba. 2) Produksi siderofor oleh bakteri; 3) Produksi asam salisilat, yang dapat terjadi secara langsung oleh bakteri ataupun secara tidak langsung.

Induksi resistensi tanaman merupakan aktivitas pertahanan tanaman untuk melindungi diri dari patogen. Dasar pemikiran dari induksi resistensi adalah bahwa gen untuk ketahanan atau reaksi pertahanan ada pada semua tanaman. Gen tersebut tidak diekspresikan sebelum induksi resistensi diberikan, ekspresi ketahanan baru akan muncul setelah adanya inokulasi challange (infeksi susulan) pada waktu dan lokasi yang berbeda. Aktivasi gen untuk melindungi tanaman dapat diinduksi secara sistemik dengan signalling mollecules yang dihasilkan pada tempat agens Inducer Sistemic Resistance dan ditransportasi dengan difusi atau melalui sistem pembuluh tanaman inang.

1. GENE OF GENE HYPOTESIS
Hidup berdampingan secara alami antara tumbuhan inang dengan patogennya menunjukkan bahwa keduany telah berkembang bersama. Perubahan dalam virulensi patogen pada tahap berikutnya harus diimbangi dengan perubahan ketahanan inang, dan begitu juga sebaliknya, sehingga keseimbangan dinamis ketahanan dan virulensi akan dipelihara dan keduanya dapat bertahan hidup. Seandainya virulensi patogen dan ketahanan tanaman inang dapat meningkat tanpa dapat diimbangi, hal ini akan mendorong tersisihnya baik inang maupun patogen, yang sesungguhnya kejadian tersebut belum pernah terjadi. Langkah evolusi tentang ketahanan dan virulensi dapat diterangkan dalam konsep gen-untuk-gen (gene for gene concept), yakni setiap gen yang memberi ketahanan untuk inang terdapat gen yang berhubungan dengannya pada patogen yang memberi virulensi pada patogen tersebut, demikian sebaliknya.
Konsep gen-untuk-gen pertama kali dibuktiakan dari kasus yang terjadi pada amid an karat rami, tetapi sejak saat itu telah ditemukan pula pada penyakit karat yang lain, gosong, penyakit tepung, kudis apel, late blight kentang, dan penyakit-penyakit lain yang disebabkan oleh jamur, dan juga beberapa penyakit lain yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan tumbuhan tingkat tinggi parasit serta nematoda. Pada semua penyakit tersebut terlihat bahwa apabila suatu varietas tahan terhadap satu patogen sebagai akibat 1, 2, dan 3 gen ketahanan, maka patogen dapat yang dapat mempengaruhinya juga mengandung 1, 2, dan 3 gen virulensi. Setiap gen pada inang dapat dideteksi dan diidentifikasi hanya oleh gen padanannya yang terdapat pada patogen, dan begitu pula sebaliknya.
Umumnya, tetapi tidak selalu demikian, pada inang gen untuk ketahanan bersifat dominan (R) sedangkan gen untuk kerentanan yaitu tidak punya ketahanan bersifat resesif (r). Di lain pihak, pada patogen gen untuk avirulensi yaitu tidak mempunyai kemampuan untuk menginfeksi biasanya bersifat dominan (A), sedangkan gen untuk virulensi bersifat resesif (a).

Tabel 1Perbandingan kuadratik kombinasi gen terhadap reaksi penyakit dalam suatu sistem inang-patogen dalam konsep gen-untuk-gen.

Gen virulensi atau avirulensi pada patogen
Gen ketahanan atau kerentanan pada tumbuhan
R (tahan)
Dominan
r (rentan)
Resesif
A (avirulen)
Dominan
AR
(-)
Ar
(+)
a (virulen)
Resesif
aR
(+)
Ar
(+)
Keterangan:
Tanda (-) menunjukkan reaksi tidak cocok  (tahan) dan tidak menghasilkan infeksi. Tanda (+) menunjukkan rekasi cocok dan selanjutnya infeksi akan berkemang.

Dari empat kemungkinan kombinasi gen-gen tersebut, hanya kombinasi AR yang tahan, yaitu apabila inang mempunyai gen ketahanan (R) terhadap patogen yang mempunyai gen avirulen (A). kombinasi Ar, infeksi berhasil dengan baik karena inang kekurangan gen untuk ketahanan dan dengan demikian patogen dapat menyerang dengan gen lain yang dimilikinya untuk virulensi (di atas segalanya, patogen tersebut tetap sebagai patogen) walaupun patogen tersebut tidak mempunyai gen virulensi spesifik terhadap gen ketahanan yang tidak dipunyai oleh inang. Pada aR, infeksi berhasil karena walaupun inang mempunyai gen untuk virulensi yang dapat menyerang secara khusus gen ketahanan tersebut. Akhirnya, pada ar infeksi berhasil karena tumbuhan rentan (r) dan di samping itu patogen juga virulen (a).
Gen untuk ketahanan pada inang muncul pertama kali melalui evolusi dan selanjutnya mungkin digunakan dalam program pemuliaan. Gen virulensi pada inang muncul setelah munculnya gen khusus ketahanan pada inang, dan setiap gen virulensi khusus menyerang gen ketahanan tersebut. Apabila muncul satu gen baru untuk virulensi yang menyerang keberadaan gen ketahanan, maka ketahanan inang akan patah. Kemudian ahli pemuliaan tumbuhan mengintroduksi ke tumbuhan tersebut gen lain untuk ketahanan, sehingga meningkatkan ketahanan inang di atas jangkauan gen baru untuk virulensi pada patogen. Hal tersebut akan mengasilkan varietas baru yang tahan sampai gen lain untuk virulensi muncul pada patogen. Apabila suatu varietas mempunyai dua gen atau lebih untuk ketahanan (R1, R2, ….) terhadap patogen tertentu, maka patogen tersebut harus juga mempunyai dua gen atau lebih untuk virulensi (a1, a2, ….), yang masing-masingnya ditunjukkan secara khusus terhadap satu gen ketahanan pada inang, supaya infeksi dapat terjadi. Kombinasi gen dan bentuk reaksi penyakit dari inana dan patogen dengan dua gen ketahanan atau virulensi dalam lokus yang berhubungan, terlihat dalam table di bawah.

Tabel 2.  Interaksi yang bersifat komplementer (saling mengisi) dari dua gen inng untuk ketahanan dan dua gen patogen untuk virulensi yang berhubungan serta bentuk reaksi penyakitnya.

Gen virulensi (a) atau avirulen (A) pada patogen

Gen tahan (R) atau rentan (r) pada tumbuhan

R1R2
R1r2
r1R2
r1r2
A1A2
-
-
-
+
A1a2
-
-
+
+
a1A2
-
+
-
+
a1a2
+
+
+
+

Tabel di atas memberii penjelasan beberapa masalah, Pertama, tumbuhan rentan (r1r2) yang tidak mempunyai gen untuk ketahanan dapat diserang oleh semua ras patogen, walaupun patogen tidak mempunyai gen khusus untuk virulensi (A1A2). Kedua, rasa tau individu patogen yang membawa gen untuk virulensi (a1a2) terhadap setiap gen ketahanan inang (R1R2) dapat menginfeksi semua tumbuhan inang yang mempunyai kombinasi dari gen-gen tersebut (R1R2, R1r2, r1R2). Apabila patogen mempunyai salah satu dari dua gen virulensi (a1 atau a2) maka patogen tersebut dapat menginfeksi tumbuhan yang mempunyai gen yang sesuai untuk kethanan (R1 atau R2, secara berurutan) tetapi tidak dapat menginfeksi tumbuhan yang mempunyai satu gen keahanan yang berbeda dengan gen virulensi yang cocok dengannya (sebagai contoh, patogen dengan gen A1a2 dapat menginfeksi tumbuhan yang mempunyai gen r1R2, tetapi tidak dapat menginfeksi R1r2 karena a2 dapat menyerang R2 tetapi A1 tidak dapat menyerang R1).
Konsep gen-untuk-gen hanya ditemukan pada tumbuhan dengan bentuk ketahanan vertikal (monogenik dan oligogenik) terhadap penyakit tertentu. Ahli pemulia tumbuhan menggunakan konsep gen-untuk-gen setiap saat mereka akan menggabungkan gen ketahanan yang baru ke dalam varietas yang diinginkan yang mana sebelumnya varietas tersebut menjadi rentan terhadap strain patogen yang baru. Untuk penyakit tertentu pada beberapa jenis tanaman, gen ketahanan baru harus di dapatkan dan di introduksikan ke dalam varietas yang tua dengan frekuensi yang cukup sering, walaupun dari gen sebelumnya telah memberiikan ketahanan bagi varietas tersebut selama bertahun-tahun. Konsep gen untuk gen mungkin juga berlaku untuk ketahanan horizontal (poligenik atau umum), namun demikian belum ada bukti lebih jauh serta bukti yang mengendalikan virulensi poligenik pada patogen.
2. HYPERSENSITIVE RESPON (HR)
Respons Hipersensitif (Hypersensitive Response) terjadi pada tanaman sebagai reaksi atas infeksi cendawan, virus dan bakteri patogen tanaman. Respons hipersensitif adalah kompleks pertahanan tanaman yang merupakan tanggapan awal dalam bentuk nekrosis dan terjadinya kematian sel untuk membatasi pergerakan patogen. Informasi tentang HR dihasilkan melalui penelitian beberapa tanaman berbeda yaitu Arabidopsis, barley, kacang tanah, ketimun, lettuce dan tomat dalam hubungan respons terhadap virus, bakteri, cendawan atau keseluruhan bagian molekul elisitor yang berbeda. HR telah diteliti pada seluruh bagian tanaman maupun pada kultur sel. Berdasarkan informasi yang tersedia dari berbagai penelitian mungkin secara bijak dapat diambil generalisasi terhadap penyebab yang sama sebagai gambaran umum HR.
HR yang terjadi ketika sel bakteri patogen diintroduksi ke dalam jaringan tanaman bukan inang seperti patogen Pseudomonas syringae pv. pisi pada tembakau, dimana saat strain patogen avirulen diintroduksi ke dalam inang yang memiliki gen resistensi mayor ternyata efektif melawan isolat yang berhubungan, misalnya isolat ras 1 dari patogen buncis P.s. pv. phaseolicola pada Phaseolus vulgaris cv. Red Miexican. Klement (1971 dan 1986) mendefinisikan tiga fase dalam HR terhadap bakteri patogen :
a. Fase Induksi ; terjadi ketika terdapatnya bakteri pada ruang antar sel. Gen avirulen (Avr) diaktivasi dalam bakteri dan produk gen avr diantarkan langsung ke dalam sel inang oleh mekanisme sekresi khusus.
b. Fase Laten ; terjadi ketika tempat keberadaan bakteri tidak meluas, tidak terlihat gejala makroskopis pada fase ini, tetapi terjadi perubahan fisiologi sel tanaman. Ekspresi gen inang dan perubahan fisiologi dapat dilihat dengan mikroskop elektron. Pada fase ini kerusakan membran sel tengah berhubungan dengan kejadian HR.
c. Fase Presentase atau collaps ; terjadi ketika sel inang pada daerah yang terinokulasi mengalami kolaps dan mengering, menjadikan warna keperakan kemudian diikuti oleh warna kekuningan.

Rentang waktu dari ketiga fase tersebut berhubungan dengan kombinasi inang-patogen dan kondisi lingkungan. Contoh: tembakau bereaksi sangat cepat dan sel inang mengalami collaps terjadi 6-8 jam setelah infiltrasi ke dalam ruang antar sel. Berbeda halnya ketika buncis Franc diinokulasi dengan ras avirulen P.s. pv. phaseolicola, sel mengalami kolaps terjadi 18-24 jam setelah inokulasi. Urutan fase didefenisikan melalui percobaan penggunaan antibiotik. Infiltrasi streptomisin atau penghambat lainnya dari protein sintesis terjadi pada fase induksi atau tertundanya sel kolaps terjadi pada fase presentasi. Setelah periode tertentu dari waktu streptomycin tidak banyak terjadi sel kolaps dan ini didefinisikan sebagai fase induksi yang panjang. Periode induksi pada buncis yang diinokulasi P. s. Pv. phaseolicola berkisar 4 jam. Hal tersebut sekarang diketahui bahwa keharusan untuk bakteri hidup selama periode induksi adalah untuk mengekspresi gen bakteri avirulen (avr) dengan hipersensitif respons dan patogenesitas (hrp) untuk mengatur pergerakan kejadian yang berhubungan dengan kolapsnya sel inang pada 14-20 jam terakhir.
Periode setelah induksi disebut dengan fase laten sebab tidak terlihat gejala makroskopis yang terjadi. Perubahan ultrastruktur telah diamati dan ion mengalami kebocoran keluar dan masuk ke dalam ruang antar sel sehingga permeabilitas membran sel tanaman meningkat. Fenomena ini diinterpretasikan sebagai indikator meningkatnya kerusakan membran di dalam sel yang mengalami HR. Penggunaan antibiotik termasuk blasticidin S atau cycloheximide yang menghambat sintesis protein inang selama bagian awal fase laten penting untuk kolapsnya sel inang pada fase presentasi.

Fungsi Respon Hipersensitif
a.    Mengikat Patogen
Reaksi hipersensitif yang muncul berkorelasi erat dengan ketahanan tanaman terhadap patogen, tetapi bagian mana dari sel yang mengalami kematian masih dalam perdebatan. Suatu hipotesis bahwa kematian sel tanaman adalah respons langsung untuk membatasi pertumbuhan dan penyebaran patogen bahkan kematian sel-sel disekitar tempat infeksi patogen. Korelasi ini telah ditemukan pada sel-sel kentang yang mengalami kematian menjadi tahan terhadap Phytophthora infestans yang menggunakan haustoria untuk menginfeksi dan mematikan sel tanaman. Kematian sel yang cepat mempengaruhi plasmodesmata melalui perpindahan virus tanaman dari satu sel ke sel lain dan kandungan sel akan mengalami perubahan oleh bakteri dalam waktu yang panjang di dalam jaringan tanaman.
Beberapa patogen menghambat kematian sel dengan mengkolonisasi jaringan inang. Ini menunjukkan pentingnya kematian sel untuk ketahanan inang. Pada kasus tanaman tahan tidak terjadi kematian sel mungkin mekanisme ketahanan terhadap penyakit tidak direspons oleh tanaman. Contoh studi ketahanan tanaman tomat terhadap strain Cladosporium fulvum (Cf) menunjukkan bahwa kematian sel HR hanya terdeteksi melalui ketahanan terhadap Cf-2-mediated. Hal Ini mirip dengan kematian sel tanaman yang dimutasi oleh DND1 menjadi rusak akibat HR tetapi mampu menahan P. syringae avirulen. Ini menunjukkan bahwa HR tidak terlalu diperlukan untuk ketahanan tetapi proporsi kecil sel-sel yang diinokulasi melalui HR cukup untuk menginisiasi ketahanan.

b.    Mengaktivasi gen-gen ketahanan yang berperan dalam pertahanan lokal tanaman
Pembentukan kematian sel HR seiring dengan aktivasi mekanisme pertahanan lokal di dalam sel yang mengalami kematian di sekitar jaringan yang infeksi. Ekspresi gen-gen pertahanan, contoh: gen yang mengkode PR protein atau enzim yang terlibat dalam jalur fenilpropanoid yang terinduksi cepat oleh patogen yang menginduksi HR. Protein yang mengkode mungkin berpengaruh langsung dan tidak langsung terhadap patogen karena kematian sel yang cepat akibat dari pelepasan senyawa pertahanan protein-related dan metabolisme beracun (toksik) pada apoplas di lokasi bakteri atau cendawan patogen berada.

3. REACTIVE OXYGEN SPECIES BURST
Spesies oksigen reaktif (bahasa InggrisReactive Oxygen Species, ROS) adalah senyawa organik yang memiliki gugus fungsional dengan atom oksigen yang bermuatan elektron lebih. ROS terbentuk secara alami, terutama pada kompleks rantai pernapasan mitokondria, dalam aktivitas selular yang normal maupun perkembangan suatu patologi.
Alkalisasi pada matriks mitokondria maupun pada sitoplasma akan menstabilkan radikal semikuinon yang merupakan cikal bakal ROS. Sedangkan nilai pH matriks yang tinggi akan memacu radikal bebas, meskipun ΔpH=0 oleh karena stimulasi nigerisin. Produksi ROS akan menurun tanpa adanya ortofosfat ketika matriks dipenuhi oleh senyawa karbonat maupun bikarbonat. Sehingga menyebabkan pH ke atas nilai 7. Tingginya rasio ROS disebut stres oksidatif.
Reactive Oxygen Species (ROS) merupakan oksidan yang sangat reaktif dan mempunyai aktivitas yang berbeda. Dampak negatif senyawa tersebut timbul karena aktivitasnya, sehingga dapat merusak komponen sel yang sangat penting untuk mempertahankan integritas sel. Setiap ROS yang terbentuk dapat memulai suatu reaksi berantai yang terus berlanjut sampai ROS itu dihilangkan oleh ROS yang lain atau sistem antioksidannya.
Produksi ROS (reactive oxygen spesies) dan asam salisilat atau faktor-faktor lain yang mengakibatkan sel-sel bunuh diri dalam memberi sinyal ketahanan dan ekspresi gen-gen pertahanan di sekeliling jaringan terinfeksi yang membentuk struktur sekunder untuk menghalangi penyebaran patogen. Kematian sel ini memberii sinyal secara langsung untuk meng-offkan sinyal untuk aktivasi amplifikasi transkripsi dan melindungi sel-sel yang tidak terinfeksi dari dismutasi superoksida, polyubiquitin, glutation S- transferase atau glutation peroksidase.
 ROS diproduksi di tanaman dan organisme aerobik lainnya sebagai akibat dari reduksi O2 selama proses sejumlah metabolisme normal. Reduksi dari reaksi oksigen intermediet yang tinggi dan berbahaya ini dapat merusak molekul dan struktur biologi dan telah dianggap oleh banyak orang sebagai bahan sampingan yang tidak diinginkan dari suatu metabolisme. Awalnya pada tanaman berkembang sistem antioksidan yang terdiri dari enzim antioksidan dan molekul antioksidan kecil sebagai sarana perlindungan terhadap produksi ROS yang berlebihan.
Aktivasi ROS diduga merupakan konsekuensi utama kerusakan yang diproduksi selama infeksi. Namun, akumulasi yang berlebihan dari ROS tersebut mungkin akan meningkatkan kerentanan tanaman atau menyebabkan pertahanan yang tidak terkontrol dengan menyebarkan lesio kematian sel yang dapat membunuh tanaman, pengaturan yang ketat pada produksi ROS dan eliminasi melalui enzimatik dan nonenzimatik antioksidan telah memungkinkan tanaman untuk menggunakan senyawa reaktif ini sebagai fitur penting dari MTI dan ETI.
Respon pertahanan telah dilaporkan terkait dengan produksi ROS yang termasuk pembunuhan patogen langsung, aktivasi kematian sel inang (HR), dan kontribusi terhadap penguatan dinding sel (Bolwell dan Daudi, 2009). Selain itu, data yang muncul membahas peran ROS sebagai sinyal dalam MTI dan ETI (Torres et al, 2006;. Van Breusegem et al,. 2008) serta kontribusinya untuk memberikan lingkungan redoks yang sesuai yang diperlukan untuk mengaktifkan pertahanan (Tada et al., 2008).

4. PROGRAM CELL DEATH (PCD)
Program kematian sel atau Program Cell Death (PCD) adalah suatu bagian integral dari banyak aspek pada perkembangan hewan dan tumbuhan dan secara selektif mengeluarkan sel yang tidak dikehendaki. Program bunuh diri sel diduga juga diaktivasi oleh respons terhadap stimulan abiotik dan biotik termasuk juga stress lingkungan atau patogen. PCD juga dideskripsi dengan menggunakan kriteria secara sitologi, agregasi kromatin, kondensasi sitoplasma, nukleus, dan fragmentasi sitoplasma serta nukleolus ke dalam membran-bound vesikel. Bagian-bagian ini secara frekuensi disempurnakan disebut DNA laderring, pembelahan kromatin pada situs inter nukleosomal menghasilkan fragmen DNA yang multimer kira-kira 180 bp. Kata Apoptoksis berasal dari bahasa Yunani Apo, dari jauh; ptosis, jatuh, diintroduksi oleh J.F.R. Kerr dan koleganya untuk membedakan tipe ini terhadap PCD dari kematian sel nekrotik pada hewan. Kematian sel nekrotik adalah hasil dari agen sitotoksik dosis tinggi atau luka keras termasuk trauma dan ischemia (luka yang disebabkan reoksigenasi jaringan setelah hipoksia) dan dikarakterisasi oleh adanya pembengkakan sel dan organel dan pecahnya membran. Apoktosis dan nekrosis telah terlihat secara morfologi dan secara mekanis pada kematian sel hewan. Berbeda dengan penyakit tumbuhan semua sel atau jaringan yang mati secara tradisional disebut nekrosisi, terlepas dari mekanisme penyebab kematian sel.
Sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa apoptosis dan nekrosis memainkan peran dalam sitologi dan biokimia kematian sel pada kisaran luas. Bermacam-macam pemicu kematian sel telah diinduksi melalui apoptosis dan nekrosis, yaitu seri protein spesifik terhadap apoptosis seperti caspases (cystein protease mirip dengan interleukin-1β converting enzyme (ICE)) dan Bcl-1 (regulator prototipe kematian sel mamalia) juga mendukung nekrosis. Pola kematian sel (morfologi apoptosis dan nekrosis) ditentukan oleh ATP interseluler. Kehilangan ATP sering bersama dengan peningkatan level ROI dan peroksidasi lemak dan mengalihkan program kematian sel dari apoptosis ke nekrosis.
Program kematian sel dibagi ke dalam 3 fungsi yang berbeda tahapannya: 1). fase perangsang bergantung pada fase induksi 2); sebuah fase dimana efektor merangsang kematian untuk selanjutnya diterjemahkan ke pusat koordinasi, 3). Perubahan selama fase degradasi umumnya dipertimbangkan untuk mendefinisikan PCD (morfologi apoptotik dari nukleus dan fragmentasi chromatin) menjadi jelas.
Bukti terbaru jelas bahwa pentingnya signal dari mitokondria saat fase apoptosis karena sel-bebas apoptosis memerlukan mitokondria yang fungsinya mensuplasi energi. Apoptosis sebagai agen yang menginduksi uncoupling transpor elektron untuk meghasilkan ATP akan menyebabkan menurunnya potensial transmembran mitokondria (Δψm) dan produksi ROI. Peristiwa ini dapat dikaitkan dengan sebuah fenomena yang terkenal transisi permeabilitas mitokondria (PT).
 Menurut Van Doom et al. (2011), klasifikasi kematian sel tanaman dibagi menjadi 2 klas yaitu :
a). Kematian sel vakuola (vacuola cell death)
Kematian sel vakuola adalah manifestasi menurunnya isi sitoplasma secara gradual dan meningkatnya isi sel yang ditempati oleh lisis vakuola. Lisis vakuola adalah mekanisme utama degradasi di sitoplasma melalui pembongkaran muatan sel saat berlangsung kematian sel vakuola.
Mikrograf elektron memperlihatkan invaginasi dari membran vakuola (tonoplas) dan fusi vesikel di bagian vakuola diikuti oleh pengangkutan dan degradasi bagian sitoplasma. Proses ini menyerupai autophagi secara mikro maupun makro. Tahapan akhir dari pelaksanaan kematian sel vakuola adalah pecahnya tonoplas dan melepaskan enzim hidrolase ke luar vakuola.
Kerusakan ini berlangsung sangat cepat di dalam sitoplasma dan dalam beberapa kasus tertentu sel-sel ini ditarik ke dinding sel. Morfologi lain yang berlangsung saat kematian sel vakuola yaitu pembentukan cables actin, pembukaan selubung inti dan segmentasi inti sel. Mitokondria dan organel lain, misalnya membran plasma (tonoplas) dan fusi vesikel di bagian vakuola diikuti oleh pengangkutan dan degradasi bagian sitoplasma. Proses ini menyerupai autophagi secara mikro maupun makro.
Tahapan akhir dari pelaksanaan kematian sel vakuola adalah pecahnya tonoplas dan melepaskan enzim hidrolase ke luar vakuola. Kerusakan ini berlangsung sangat cepat di dalam sitoplasma dan dalam beberapa kasus tertentu sel-sel ini ditarik ke dinding sel. Morfologi lain yang berlangsung saat kematian sel vakuola yaitu pembentukan cables actin, pembukaan selubung inti dan segmentasi inti sel. Mitokondria dan organel lain, misalnya membran plasma.
b). Kematian sel nekrosis (necrotic cell death)
Nekrosis dari sel-sel didefinisikan secara morfologi apoptotik atau autophagic, awalnya sering ada kehilangan isi sel keluar, organel bengkak (awalnya pecah membran plasma dan kehilangan isi sel secara intraseluler). Kematian sel dengan karakteristik seperti di atas terjadi meluas di tanaman serta diinduksi melalui stres abiotik dan pengenalan patogen saat berlangsungnya HR. Hal ini juga ditemukan dalam sel-sel yang dirubah oleh patogen necrotrop. Namun dalam kasus HR, nekrotik sering terjadi bersamaan dengan kematian sel vakuola. Sitologi yang menandai perbedaan nekrosis tanaman terhadap kematian sel vakuola termasuk membengkaknya mitokondria.
Dalam literatur lain menyebutkan apoptosis merupakan suatu bentuk kematian sel yang didesain untuk menghilangkan sel-sel host yang tidak diinginkan melalui aktivasi serangkaian peristiwa yang terprogram secara internal melalui serangkaian produk gen. Adapun terjadinya penyebab diatas sebagai berikut:
1)      Selama proses perkembangan
2)      Sebagai suatu mekanisme homeostatik untuk memelihara sel di jaringan.
3)      Sebagai suatu mekanisme pertahanan seperti reaksi imun
4)      Apabila sel-sel dihancurkan oleh penyakit atau agent-agent yang berbahaya.
5)      Proses Penuaan.

5. EFFECTOR TRIGGERED IMMUNITY
ETI merupakan cabang dari sistem deteksi kekebalan pada tanaman yang diaktifkan oleh kehadiran patogen. ETI merupakan bentuk respon kekebalan yang sangat kuat yang bergantung pada gen R, dan diaktifkan oleh strain spesifik dari spesies patogen. Seperti PTI, banyak contoh yang spesifik mengenai ETI secara jelas menentang bagian dari definisi umum PTI / ETI. Namun, sebagian besar sistem kekebalan tanaman membawa repertoar 100-600 gen R yang berbeda yang memediasi resistensi terhadap berbagai virus, bakteri, jamur, oomycete dan nematoda patogen, dan terhadap beberapa serangga.
Banyak gen R tetapi tidak semuanya menyandi NB-LRR protein (nucleotide-binding/leucine-rich repeat). Tanaman dengan mekanisme ETI sering menyebabkan respon hipersensitif - respon kematian sel terprogram.
Sebagai sumber nutrisi yang melimpah, secara alami tanaman selalu dieksploitasi mikroba yang ada disekelilingnya. Oleh karena itu salah satu elemen penting dalam evolusi tanaman harus mengembangkan ketahanan yang efektif bagi dirinya untuk menghadapi serangan patogen yang mengancam bagi kelangsungan hidupnya. Beberapa mikroba patogenik mampu mengatasi barier ketahanan tanaman sehingga berhasil menginfeksi dan mengkolonisai inangnya. Sebaliknya patogen yang mampu beradaptsi harus mampu mengatasi ketahanan tnaman sehingga memungkinkan terjadinya infeksi pada tanaman inang.
Kekebalan tanaman terhadap patogen dapat diinduksi  dengan tanggapan relative Patogen or Microbe associated molecular pattern (PAMP or MAMPS) melalui receptor yang ada di permukaan sel. PAMPs merupakan molekul mikroba yang dikenali oleh tanaman inang sebagai nonself signal. Beberapa mikroba patogenik mampu mengirimkan protein efektor ke tanaman inang untuk meningkatkan virulensi, seringkali dengan menghambat PAMP-Triggered Immunity (PTI). Beberapa dari effektor ini dikenali oleh corresponding plant disease resistance proteins pada cutivar tertentu untuk mengaktifkan Effector Triggered Imunity (ETI). Umumnya ETI (tapi tidak selalu) menghasilkan reaksi Hypersensitif (HR) yang dicirikan dengan kematian sel. Interaksi antara tanaman dan patogen dikategorikan menjadi kompatibel, inkompatibel dan interaksi nonhost. Pada interaksi inkompatibel terjadi pada kultivar spesifik dan ditandai dengan adanya ETI. Interaksi kompatibel tidak terjadi proses ETI. Interaksi nonhost berarti interaksi antara species tanaman dan patogen yang nonadapted. Beberapa efektor dari nonadapted patogen juga memicu  ETI dan menginduksi HR.
6. PHATOGENESIS RELATED
Patogenesis Related (PR)-Protein, merupakan protein spesifik yang terdapat pada tanaman dan memiliki fungsi serta peranan untuk mempertahankan kelangsungan kehidupan tanaman, khususnya dalam menangkal serangan dari mikroorganisme/virus patogen yang berbahaya bagi tanaman tersebut. Patogenensis-related protein juga diartikan sebagai kelompok protein karakteristik dari tanaman yang terakumulasi setelah adanya infeksi atau perlakuan elisitor. Ekspresi dari gen-gen yang mengkode PR-protein dan akumulasi dari protein-protein ini dapat dianggap sebagai bagian dari mekanisme pertahanan tanaman. PR-protein adalah kelompok protein yang terlibat dalam mekanisme pertahanan tanaman baik pada keadaan infeksi antara tanaman dan patogen yang sesuai (compatible) maupun yang tidak.
Setiap tanaman akan memberi respon yang spesifik apabila terkena serangan (invasi) mikroorganisme patogen dari luar, dengan jalan meningkatkan sintesis PR-Proteinnya, untuk menangkal serangan patogen tersebut. Atas dasar itu, pertumbuhan tanaman akan baik dan terhindar dari berbagai penyakit tanaman, serta memiliki produktivitas yang tinggi bilamana tanaman tersebut dirangsang agar mensintesis dan meningkatkan kandungan PR-Proteinnya. Dengan demikian, bilamana kandungan PR-protein pada tanaman sudah tinggi, maka tentunya tanaman tersebut dapat menangkal setiap mikrorganisme patogen yang membahayakan kehidupannya (Soedjanaatmadja, 2008).
Sejumlah PR-protein juga dapat terinduksi sintesisnya oleh berbagai faktor antara lain stress kekeringan, salinitas, pelukaan, logam berat, oleh perlakuan elisitor endogen maupun eksogen; dan oleh perlakuan zat pengatur tumbuh tanaman. Kebanyakan PR protein dalam spesies tanaman adalah asam yang mudah larut, berat molekul rendah, dan protein protease-tahan. PR protein tergantung pada titik isoelektriknya, apakah protein asam atau basa tetapi memiliki fungsi yang sama. Kebanyakan PR protein asam terletak di ruang-ruang antar sel, sedangkan PR protein basa sebagian besar terletak di vakuola. PR Protein awalnya dibagi menjadi 5 famili berdasarkan massa molekul, titik isoelektrik, serta lokalisasi dan aktivitas biologisnya. Pengelompokan PR-protein ke dalam 5 kelas protein meliputi PR-1, PR-2, PR-3, PR-4 dan PR-5.

1)      PR-1
PR-1 protein terakumulasi pada tingkat yang tinggi setelah terjadinya infeksi patogen pada tanaman. PR-1 protein bersifat anticendawan yang diekspresikan pada tanaman transgenik dan juga pada uji aktivitas anticendawan secara in vitro dari ekstrak PR-1 protein.
PR-1 telah ditemukan terekspresi antara lain pada padi, gandum, jagung, tembakau, Arabidopsis thaliana, dan barley. PR-1 protein memiliki aktivitas anticendawan pada konsentrasi rendah terhadap sejumlah Uromyces fabae, Phytophthora infestans, and Erysiphe graminis (Niderman et al. 1995). PR-2 Protein (β-glucanase) memiliki aktivitas β-endoglucanase yang mampu menghidrolisis ikatan 1,3 β-glucan yang ada pada dinding sel cendawan, terutama pada ujung hifa cendawan sehingga menyebabkan ujung hifa menjadi lemah, lisis dan mati.

2)      PR-2
PR-2 protein dikelompokkan ke dalam 3 kelas berdasarkan runutan residu asam aminonya (Agrawal et al. 2000; Cote et al. 1991; Leah et al. 1991). Glukanase Klas I merupakan protein yang bersifat basic yang ditemukan pada vakuola tanaman dengan berat molekul sekitar 33 kDa. Sedangkan glukanase kelas II dan III merupakan protein yang bersifat acidic dan ditemukan ekstraseluler dengan berat molekul sekitar 36 kDa, serta aktif pada konsentrasi  sekitar 50 µg/ml. PR-2 protein menghambat cendawan Rhizoctonia solani yang menyerang tanaman dan Candida albicans serta Aspergillus fumigatus yang menginfeksi manusia. Aktivitas anticendawan PR-2 diketahui berdasarkan hasil uji in vitro dan hasil uji overekspresi overekspresi pada tanaman transgenik.
PR-2 Protein (β-glucanase) memiliki aktivitas β-endoglucanase yang mampu menghidrolisis ikatan 1,3 β-glucan yang ada pada dinding sel cendawan, terutama pada ujung hifa cendawan sehingga menyebabkan ujung hifa menjadi lemah, lisis dan mati. PR-2 protein dikelompokkan ke dalam 3 kelas berdasarkan  runutan residu asam aminonya (Agrawal et al. 2000; Cote et al. 1991; Leah et al. 1991). Glukanase Klas I merupakan protein yang bersifat basic yang ditemukan pada vakuola tanaman dengan berat molekul sekitar 33 kDa. Sedangkan glukanase kelas II dan III merupakan protein yang bersifat acidic dan ditemukan ekstraseluler dengan berat molekul sekitar 36 kDa, serta aktif pada konsentrasi sekitar 50 µg/ml. PR-2 protein menghambat cendawan Rhizoctonia solani yang menyerang tanaman dan Candida albicans serta Aspergillus fumigatus yang menginfeksi manusia. Aktivitas anticendawan PR-2 diketahui berdasarkan hasil uji in vitro dan hasil uji overekspresi pada tanaman transgenik.
Kitinase sudah diisolasi dari bakteri, cendawan, dan tanaman (tembakau, timun, kacang-kacangan dan biji-bijian) (Selitrennikof 2001). Kitinase mempunyai aktivitas anticendawan terhadap Trichoderma reesei, Alternaria solani, Alternaria radicina, Fusarium oxysporum, Rhizoctonia. solani, Guignardia bidwellii, Botrytis cinerea, and Coprinus comatus. Cara kerja kitinase dalam menghambat pertumbuhan cendawan adalah dengan mendegradasi polimer kitin sehingga melemahkan dinding sel cendawan. Kitinase dan glukanase dapat bekerja secara sinergis untuk menghambat pertumbuhan cendawan berdasarkan hasil uji secara in vitro dan uji overekspresi dalam tanaman transgenik.

3)      PR-3
Protein dari famili PR-3 merupakan endochitinases, yang menghidrolisis β-1,4-linkages antara N-acetylglucosamines dari kitin, melepaskan oligosakarida dari dinding sel banyak jamur (Boller, 1993). Kitin bukanlah komponen alami sel tumbuhan namun hadir dalam dinding sel kebanyakan jamur dan kutikula serangga (Stintzi et al., 1993).
Pembagian chitinases ke dalam berbagai kelas (I-VII) terutama didasarkan pada ada atau tidak adanya domain kaya sistein dan perpanjangan C-terminal yang memberikan sinyal untuk penargetan vacuolar. Sistein kaya domain diyakini bagian PR-3 yang menargetkan ikatan kitin terhadap patogen yang mengandung kitin.
4)      PR-4
PR-4 (chitin-binding) protein merupakan protein yang mengikat kitin, memiliki berat molekul 13-14.5 kDa, dan terdiri atas 2 klas. PR-4 protein klas 1 menyerupai hevein dan termasuk ke dalam superfamili chitin-binding lectin. Sedangkan PR-4 protein klas II tidak memiliki domain chitin-binding. PR-4 protein telah berhasil diisolasi dari tanaman kentang, tembakau, barley dan tomat. Mekanisme penghambatan pertumbuhan cendawan oleh PR-4 protein diduga dihasilkan dari proses ikatan PR-4 protein terhadap senyawa β-chitin melalui mekanisme yang belum sepenuhnya dapat dijelaskan, sehingga mengakibatkan terganggunya polaritas sel dan terhambatnya pertumbuhan cendawan. Sementara mekanisme penghambatan pertumbuhan cendawan oleh PR-4 protein klas II belum sepenuhnya dapat dijelaskan.

5)      PR-5
Protein yang berasal dari famili PR-5 juga dikenal sebagai taumatin seperti protein karena mereka menunjukkan kesamaan urutan. PR-5 protein tidak termasuk enzim tetapi merupakan protein yang bersifat anticendawan dengan merusak membran fungi. PR-5 protein telah berhasil diisolasi dari jagung dan disebut sebagai zeamatin serta dari tembakau dan disebut sebagai osmotin. Osmotin mempunyai bobot molekul 24 kD, terakumulasi dalam vakuola selama adaptasi sel tembakau (Nicotiana tabacum var. Wisconsin 38) terhadap cekaman osmotik (Singh. et al, dalam Cheong et al, 1997). PR-5 protein juga telah berhasil dimurnikan dan dikarakterisasi dari daun  labu (pumpkin). PR-5 protein dari labu tersebut mempunyai bobot molekul 28 kD  dan dapat menghambat pertumbuhan hifa Fusarium oxysporum dan Neurospora crassa dalam uji in vitro.

Saat ini PR-protein dikelompokkan menjadi 17 famili menurut sifat dan fungsi, termasuk β-1,3-glukanase, chitinases, thaumatin seperti protein, peroksidase, ribosom-inaktifkan protein, pertahanan, thionins, protein mentransfer lipid nonspesifik, oksalat oksidase, dan oksalat-oksidase-seperti protein. Di antara PR protein ini, chitinases dan β-1,3-glukanase adalah dua enzim hidrolitik yang penting yang melimpah pada banyak spesies tanaman setelah infeksi oleh berbagai jenis patogen. Jumlah tersebut secara signifikan meningkatkan dan memainkan peran utama reaksi pertahanan terhadap jamur patogen melalui penghancuran dinding sel, karena kitin dan β-1,3-glukan juga merupakan komponen struktural utama dari dinding sel jamur patogen. β-1,3-glukanase tampaknya terkoordinasi diungkapkan bersama dengan chitinases setelah infeksi jamur. Ko-induksi ini  adalah dua dari enzim hidrolitik yang telah dijelaskan pada banyak spesies tanaman, termasuk kacang, kacang, tomat, tembakau, jagung, kedelai, kentang, dan gandum.

REFERENSI
bisa menghubungi penulis ^_^ di https://www.facebook.com/Dandazy 

6 komentar:

  1. mantap, artikelnya bagus skali, trims

    BalasHapus
  2. terima kasih.. masih belajar mas.. mhon krisar nya ya..

    BalasHapus
  3. maaf mau bertanya bedanya pengendalian dengan menggunakan ketahanan terinduksi sama mengendalikan patogen dengan pestisida nabati apa ya?

    BalasHapus
  4. tulisan anda sangat membantu dalan pemahaman mengenai SAR dan ISR, yang ingin saya tanyakan acuan pustakanya apa saja? dikerenakan penelitian saya juga berhubungan dengan SAR dan ISR
    mohon bantuannya

    BalasHapus
  5. tulisan anda sangat membantu dalan pemahaman mengenai SAR dan ISR, yang ingin saya tanyakan acuan pustakanya apa saja? dikerenakan penelitian saya juga berhubungan dengan SAR dan ISR
    mohon bantuannya

    BalasHapus
  6. Apa penebalan dinding sel tumbuhan yang disebabkan oleh peranan Kalium apa termasuk dalam induksi ketahanan atau dikelompokkan dalam ketahanan apa ?

    BalasHapus